Dalam dinamika kehidupan seorang prajurit, disiplin dan tanggung jawab menjadi landasan utama. Namun, di balik kekuatan fisik dan ketegasan dalam bertugas, ada sisi spiritual yang tak pernah ditinggalkan. Di sinilah makna "Bhumi Literasi Anak Bangsa" menemukan ruangnya—sebuah gerakan moral dan intelektual yang menyatukan semangat kebangsaan dengan kekuatan iman.
Gambar yang memperlihatkan seorang prajurit berdiri di mimbar masjid, menyampaikan pesan keagamaan kepada rekan-rekannya, bukan sekedar simbolisasi aktivitas keagamaan rutin. Ia mencerminkan semangat literasi spiritual yang tumbuh di tengah kesibukan para penjaga negeri. Di balik seragam loreng dan disiplin militer, terdapat semangat untuk memahami nilai-nilai luhur kehidupan.
Bhumi, yang berarti bumi atau tanah tempat berpijak, menggambarkan tempat di mana segala hal dimulai—tempat pendidikan, pembinaan, dan perjuangan dimulai. Literasi bukan hanya tentang membaca dan menulis, tetapi pemahaman mendalam terhadap nilai-nilai, sejarah, dan ajaran yang membentuk karakter bangsa. Dalam hal ini, literasi spiritual memainkan peran vital dalam menjaga integritas moral prajurit.
Kegiatan seperti khutbah Jumat atau pengajian di lingkungan militer menunjukkan bahwa keimanan bukan hanya untuk masyarakat sipil. Justru, prajurit sebagai garda terdepan bangsa harus memiliki kekuatan batin yang kuat. Nilai keimanan dan kebangsaan menyatu, menjadikan mereka pribadi yang bukan hanya siap menghadapi musuh, tapi juga mampu melindungi nilai-nilai luhur bangsa.
"Bhumi Literasi Anak Bangsa" juga membawa pesan bahwa membangun bangsa tidak hanya melalui senjata, tapi juga melalui pena, ilmu, dan akhlak. Ketika seorang prajurit menyampaikan dakwah di mimbar, ia sedang menanamkan nilai keteladanan, kepemimpinan, dan tanggung jawab sosial. Ia menjadi panutan, bukan hanya dalam barak, tapi juga di tengah masyarakat.
Generasi muda yang melihat contoh ini akan memahami bahwa menjadi kuat bukan berarti harus keras, dan menjadi berani bukan berarti mengabaikan nilai-nilai keimanan. Justru, kekuatan sejati lahir dari keseimbangan antara fisik dan spiritual, antara akal dan hati. Literasi yang hidup bukan hanya dari buku, tapi dari praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Di era digital saat ini, tantangan terhadap literasi semakin kompleks. Informasi berseliweran tanpa filter, dan hanya mereka yang memiliki fondasi kuat yang mampu menyaring dan memahami secara bijak. Prajurit yang melek literasi spiritual akan mampu menjadi benteng dari hoaks, radikalisme, dan degradasi moral yang mengintai generasi.
Masjid sebagai pusat pembinaan karakter menjadi tempat yang strategis untuk membumikan nilai-nilai literasi. Di sanalah prajurit belajar merendahkan hati, mendengarkan, dan merenungi makna kehidupan. Suasana sakral masjid memberikan ketenangan yang mampu menyejukkan jiwa yang lelah karena tugas berat.
Program-program pembinaan mental dan spiritual di lingkungan TNI harus terus digalakkan. Selain memperkuat ketahanan individu, hal ini juga berkontribusi besar terhadap ketahanan nasional. Seorang prajurit yang literat secara spiritual akan memiliki etos kerja yang tinggi, loyalitas yang kuat, dan keberanian yang dilandasi oleh nilai yang benar.
"Bhumi Literasi Anak Bangsa" bukan hanya sebuah slogan, tapi sebuah gerakan sadar untuk membentuk manusia-manusia kuat lahir batin. Di tangan prajurit yang beriman dan berilmu, masa depan bangsa ini disemai dengan harapan dan nilai-nilai luhur yang tak lekang oleh waktu.


