Bacharuddin Jusuf Habibie, Presiden ketiga Republik Indonesia, bukan hanya dikenal sebagai sosok teknokrat dan bapak teknologi bangsa, tetapi juga sebagai seorang pemimpin visioner yang selalu menyampaikan pesan kebersamaan. Salah satu kutipan terkenalnya berbunyi, “Masa lalu saya adalah milik saya, masa lalu kamu adalah milik kamu. Namun masa depan adalah milik kita bersama.” Ucapan ini bukan sekadar rangkaian kata, melainkan sebuah refleksi tentang persatuan dan tanggung jawab kolektif dalam membangun bangsa.
Pesan Habibie tersebut mengajarkan bahwa masa lalu, baik manis maupun pahit, adalah bagian pribadi yang tidak bisa diubah. Setiap orang memiliki pengalaman dan perjalanan hidupnya masing-masing. Namun, masa depan adalah ruang yang masih kosong, yang dapat kita isi bersama dengan kerja sama, semangat, dan persatuan.
Dalam konteks kehidupan berbangsa, Habibie menegaskan bahwa perbedaan latar belakang, suku, agama, maupun pengalaman pribadi tidak boleh menjadi penghalang. Justru, keberagaman itu bisa menjadi kekuatan besar bila diarahkan untuk mencapai tujuan bersama. Masa depan bangsa hanya bisa kokoh jika dibangun dengan semangat gotong royong.
Habibie sendiri adalah contoh nyata dari seseorang yang tidak berhenti pada masa lalunya. Meski pernah merasakan pahitnya kehilangan istri tercinta, Ainun, ia tetap melangkah ke depan. Ia menjadikan kesedihan itu sebagai energi untuk terus berkarya dan memberikan inspirasi bagi generasi muda Indonesia. Dari sinilah kita belajar bahwa masa depan tidak boleh dikekang oleh masa lalu.
Bagi Habibie, kebersamaan adalah kunci. Ia sering menekankan bahwa kemajuan teknologi, ekonomi, maupun pembangunan sosial tidak bisa dicapai oleh satu orang atau satu kelompok saja. Semua itu memerlukan kontribusi kolektif dari masyarakat, pemerintah, akademisi, hingga generasi muda yang akan menjadi penerus.
Kutipan Habibie tersebut juga sangat relevan dalam menghadapi tantangan zaman modern. Di era digitalisasi dan globalisasi, bangsa Indonesia harus bersatu menghadapi persaingan global. Jika setiap individu sibuk dengan masa lalunya masing-masing, maka sulit untuk bergerak maju. Sebaliknya, jika semua pihak fokus pada masa depan bersama, Indonesia dapat tampil lebih kuat di kancah dunia.
Selain itu, pesan ini juga dapat diterapkan dalam kehidupan pribadi. Banyak orang sering terjebak pada penyesalan atau trauma masa lalu, sehingga lupa menatap ke depan. Habibie mengingatkan bahwa yang terpenting adalah bagaimana kita memaknai masa depan dan bekerja sama dengan orang lain untuk mencapainya. Masa depan akan lebih bermakna jika dibangun dengan cinta, persatuan, dan kolaborasi.
Tidak hanya dalam skala nasional, pesan Habibie juga bisa diartikan dalam lingkup keluarga dan masyarakat. Setiap anggota keluarga mungkin memiliki perbedaan atau konflik di masa lalu, tetapi masa depan kebahagiaan bersama hanya bisa terwujud jika semua mau berdamai dan melangkah maju. Hal yang sama berlaku di masyarakat: rekonsiliasi dan kerja sama adalah syarat mutlak untuk terciptanya kedamaian dan kemajuan.
Warisan pemikiran B.J. Habibie menjadi pengingat bahwa kepemimpinan sejati bukan hanya soal kebijakan, tetapi juga tentang memberi arah moral bagi masyarakat. Dengan menekankan bahwa masa depan adalah milik bersama, Habibie mengajak seluruh rakyat untuk menanggalkan ego dan berpikir kolektif demi kebaikan bersama.
Kini, saat bangsa Indonesia terus melangkah menuju cita-cita besar, kutipan Habibie itu tetap relevan. Masa lalu boleh menjadi pelajaran, namun masa depan adalah ruang perjuangan. Dan hanya dengan kebersamaan, bangsa ini dapat mewujudkan impian: Indonesia yang maju, adil, dan sejahtera.

