Iklan

Latest Post


Senyum di Balik Gelar

Bhumi Literasi
Kamis, 17 April 2025, April 17, 2025 WIB Last Updated 2025-04-17T05:46:24Z


Rizal melangkah keluar dari ruang sidang dengan dada yang terasa lega, namun juga penuh haru. Di tangannya tergenggam map cokelat berisi hasil sidang tesisnya, tanda bahwa perjuangannya selama ini tidak sia-sia. Keringat yang sempat membasahi pelipisnya terasa seperti tetes terakhir dari perjalanan panjang yang penuh pengorbanan. Di depan pintu, senyum yang paling ia rindukan langsung menyambutnya. Shinta, istrinya, memeluk erat Bhumi, anak mereka yang berusia tiga tahun.

Bhumi langsung berlari kecil ke arah Rizal dengan riang, membawa kertas gambar yang ia corat-coret saat menunggu. "Ayah hebat!" serunya sambil mengangkat kedua tangannya. Rizal berjongkok dan memeluk Bhumi dengan erat. "Bhumi juga hebat karena sudah sabar nunggu Ayah," balasnya sambil tersenyum hangat. Shinta menghampiri mereka berdua, ikut memeluk dalam keheningan yang penuh makna.

Dua tahun terakhir bukanlah masa yang mudah bagi Rizal. Menjadi mahasiswa magister di Universitas Gadjah Mada, sambil tetap menjalankan peran sebagai suami dan ayah, menuntutnya untuk pandai membagi waktu dan tenaga. Malam-malamnya dipenuhi tumpukan jurnal, diskusi daring, dan lembar-lembar revisi yang seolah tak ada habisnya. Kadang Bhumi tertidur di pangkuannya, sementara ia masih menatap layar laptop yang menyala hingga dini hari.

Namun Rizal tak pernah benar-benar sendiri. Shinta adalah sosok yang selalu berdiri di sampingnya, memberi semangat saat Rizal mulai ragu, menyeduh kopi di malam-malam panjangnya, dan menenangkan Bhumi saat ia terlalu sibuk dengan tugas-tugas akademiknya. Tanpa dukungan Shinta, Rizal tahu bahwa menyelesaikan program ini hanyalah mimpi kosong. Ia pernah hampir menyerah, namun Shinta yang menariknya kembali ke jalur.

Hari ini, semua jerih payah itu terbayar lunas. Rizal resmi menyandang gelar Master of Science (M.Sc.), dan yang lebih penting, ia meraih gelar itu tanpa kehilangan makna rumah tangganya. Ia tahu, ini bukan sekedar prestasi pribadi, ini adalah kemenangan seluruh keluarganya. Bhumi mungkin belum sepenuhnya mengerti arti dari gelar itu, tapi Rizal berharap kelak anaknya bisa melihat semangat perjuangan ayah dan bundanya sebagai pelajaran hidup.

Usai sidang, mereka bertiga diajak masuk ke dalam ruangan pusat studi untuk berfoto bersama. Shinta menggandeng Rizal erat, dan Rizal merangkulnya sambil mengangkat map kelulusannya. Di tengah-tengah mereka, Bhumi berdiri kecil tapi gagah, memegang salinan tesis ayahnya. Mereka tersenyum di depan logo besar Universitas Gadjah Mada, senyum yang menyimpan cerita panjang, penuh air mata dan tawa.

Fotografer dari kampus mengabadikan momen itu. Klik kamera terasa seperti titik akhir dari sebuah babak dan pembuka babak baru dalam hidup mereka. Rizal berbisik pelan kepada Shinta, “Kita berhasil, Sayang.” Shinta mengangguk sambil menahan air mata haru. “Kamu yang hebat, Mas. Kita bertiga akan selalu berjuang bareng.”

Sore itu, mereka berjalan pelan menuju tempat parkir, tangan saling menggenggam, langkah terasa ringan. Tak ada pesta besar, tak ada selebrasi mewah, tapi kebahagiaan mereka tak tergantikan oleh apapun. Rizal tahu, ilmu yang ia bawa pulang bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi Bhumi dan keluarga kecilnya.

Di dalam hati Rizal, ada keyakinan baru yang tumbuh. Jika ia bisa melewati ini bersama keluarga, maka tantangan apa pun di masa depan tak lagi menakutkan. Gelar M.Sc. di belakang namanya hanyalah permulaan. Karena sejatinya, gelar terpenting yang ia miliki adalah: suami dari Shinta, dan ayah dari Bhumi.

Komentar

Tampilkan