Hari itu langit begitu cerah, seolah ikut menyambut semangat empat sahabat yang duduk rapat dalam sebuah mobil kecil. Mereka tak punya rencana pasti, hanya sebuah kesepakatan sederhana: “Ayo jalan, ke mana saja roda membawa.” Tawa mereka pecah sejak mesin dinyalakan, membaur dengan lagu-lagu lama yang diputar keras dari radio mobil.
Lia, satu-satunya perempuan dalam rombongan, duduk di depan dengan wajah berseri-seri. Ia mengangkat tangan untuk selfie, mengabadikan momen langka bersama tiga sahabat prianya: Jaka si pengemudi tenang, Dani si penuh tawa, dan Ilham yang selalu tampil rapi dengan senyum tipis tapi tulus. Meski berbeda karakter, mereka tak pernah kehilangan koneksi sebagai sahabat.
Mereka memutuskan untuk mengikuti jalan pesisir, membiarkan pemandangan laut yang membentang menemani obrolan tanpa ujung. “Eh, kalau nemu warung enak, kita berhenti, ya!” seru Dani sambil tertawa. Lia langsung mengangguk, “Asal bukan yang pedes banget kayak terakhir, ya. Aku trauma!” Mereka semua tertawa, mengenang insiden sambal super pedas yang membuat Lia menangis.
Di tengah perjalanan, mereka berhenti di sebuah pantai yang sepi, tanpa rencana, hanya karena Ilham melihat papan kecil bertuliskan "Pantai Tersembunyi". Mereka berempat turun, mencopot alas kaki, lalu berlarian ke arah ombak yang menyapa lembut. Lia mengayunkan rok, menari kecil sambil tertawa, sementara Jaka sibuk memotret dari jauh.
Saat duduk di pasir, mereka saling bercerita tentang impian masing-masing. Dani ingin membuka kedai kopi sendiri, Ilham bermimpi keliling Eropa, Jaka diam-diam ingin jadi penulis, dan Lia—tanpa ragu—berkata, “Aku hanya ingin terus seperti ini, bersama kalian.” Ucapan itu membuat suasana hening sejenak, lalu Dani menggoda, “Wah, jadi kita harus terus jomblo dong?”
Menjelang sore, mereka kembali ke mobil, membawa pasir di rambut dan baju, tapi juga membawa sesuatu yang lebih dalam—perasaan hangat yang jarang muncul dalam kesibukan sehari-hari. Dalam perjalanan pulang, tak ada yang tidur. Mereka masih tertawa, membahas hal-hal remeh, seolah waktu tak berjalan.
Di persimpangan, Jaka bertanya, “Balik ke kota atau lanjut ke utara?” Tak ada yang langsung menjawab. Mereka saling pandang, lalu Lia berkata pelan, “Kalau balik, ceritanya selesai. Kalau lanjut, kita bikin babak baru.” Jaka pun belok ke arah utara, tanpa banyak kata.
Langit mulai memerah, memberi warna jingga yang memantul di kaca depan mobil. Momen itu seperti lukisan yang hidup—empat sahabat, jalan yang tak dikenal, dan senja yang memeluk. Mereka tak tahu akan ke mana, tapi satu hal pasti: mereka pergi bersama.
Perjalanan tanpa rencana itu mungkin tak akan diingat orang lain. Tapi bagi mereka berempat, hari itu akan jadi cerita yang akan selalu mereka ulangi, setiap kali dunia terasa terlalu serius. Karena kadang, kebahagiaan hadir bukan dari tujuan, tapi dari siapa yang duduk di sebelahmu saat kamu berjalan.


