Di sebuah lapangan hijau yang dikelilingi pepohonan rindang, suara Pak Bayu menggema lantang melalui mikrofon. Di hadapannya, puluhan anak-anak duduk dengan penuh perhatian. Kaos hitam yang dikenakannya bertuliskan "Bhumi Literasi Anak Bangsa", menggambarkan semangat yang ia bawa dalam setiap langkahnya: menyalakan cahaya literasi di hati generasi muda.
Pak Bayu bukan orang sembarangan. Ia adalah pegiat literasi yang telah bertahun-tahun mengabdikan diri pada pendidikan anak-anak di pelosok negeri. Dengan penuh semangat, ia menyampaikan pentingnya membaca dan menulis sebagai jembatan menuju masa depan yang lebih baik. “Anak-anak hebat lahir dari buku-buku yang kalian baca hari ini!” serunya sambil mengacungkan jari ke langit.
Bhumi Literasi Anak Bangsa bukan sekedar komunitas. Ia adalah gerakan yang lahir dari keresahan banyak orang akan rendahnya minat baca anak-anak. Pak Bayu menjadi bagian penting dari gerakan ini. Ia percaya bahwa perubahan besar dimulai dari hal kecil seperti satu buku, satu anak, satu mimpi.
Hari itu, ia membawa beberapa dus buku hasil donasi untuk dibagikan. Setiap anak mendapatkan satu buku, dan satu tugas: membaca dan menuliskan ringkasan ceritanya minggu depan. "Bukan sekedar membaca, tapi juga memahami," katanya, sambil membagikan buku dengan senyuman hangat.
Para orang tua yang ikut hadir tampak tersentuh. Mereka menyadari betapa besar dampak kehadiran Pak Bayu di tengah komunitas mereka. Ia tidak hanya mengajar, tapi juga membangkitkan semangat dan harapan. Di setiap kunjungannya, ia selalu membawa energi positif yang menular.
Dalam sesi diskusi sore itu, Pak Bayu menekankan bahwa literasi bukan hanya tentang kemampuan membaca, tapi juga berpikir kritis, menyampaikan pendapat, dan menghargai sudut pandang orang lain. “Bangsa yang hebat lahir dari anak-anak yang mampu berpikir dan menulis dengan merdeka,” ucapnya.
Beberapa anak mulai menunjukkan perubahan. Rani, salah satu peserta, yang awalnya pemalu, kini berani membacakan cerpen karyanya di depan teman-temannya. Ia menulis tentang mimpinya menjadi guru, dan Pak Bayu memujinya sebagai "penyulut semangat literasi sejati".
Seiring waktu, Bhumi Literasi Anak Bangsa menjadi lebih dikenal. Berkat dorongan dan keteladanan Pak Bayu, semakin banyak relawan muda yang bergabung, membawa ide-ide segar dan energi baru. Mereka menggelar kelas menulis kreatif, lomba resensi buku, hingga program “Buku Keliling” ke desa-desa.
Pak Bayu tahu perjuangannya belum selesai. Namun setiap tawa anak-anak, setiap halaman yang dibalik dengan penasaran, adalah bahan bakar yang membuatnya terus melangkah. “Selama masih ada anak yang ingin belajar, saya tidak akan berhenti,” katanya suatu hari.
Di senja yang mulai merayap, Pak Bayu menatap langit. Ia tahu masa depan bangsa ini tergantung pada seberapa kuat anak-anaknya mencintai ilmu. Dan selama Bhumi Literasi Anak Bangsa tetap hidup, harapan itu tak akan pernah padam.


