Matahari pagi menyelinap melalui celah atap kaca, memantulkan bayangan diagonal di lantai hitam-putih perpustakaan Universitas Gadjah Mada. Purnono berdiri tegak di paling kiri, mengenakan batik biru kuning dengan ekspresi tenang yang selalu ia miliki sejak kuliah dulu. Ia adalah sosok pemikir, dan hari ini adalah hari di mana pikirannya diuji: tim riset yang mereka bentuk sejak semester tujuh kini hendak mempresentasikan hasil akhir kerja mereka kepada pihak kampus.
Di sebelahnya berdiri Vira, perempuan tangguh dengan rambut lurus sebahu dan langkah pasti. Ia yang paling vokal dalam tim, selalu punya argumen kuat dalam diskusi. Namun hari ini, ada sedikit gugup di balik senyumnya. Ia baru saja menerima kabar bahwa ayahnya yang seorang pustakawan senior akan hadir diam-diam di presentasi mereka. Bagi Vira, ini bukan sekadar riset, ini adalah pembuktian.
Christin, di tengah-tengah, mengenakan atasan hijau olive dan celana jins biru. Ia adalah jantung tim: penyeimbang antara idealisme Purnono, ketegasan Vira, dan pragmatisme Rizal. Ketika konflik terjadi dalam tim, Christinlah yang menenangkannya. Senyum lembutnya hari ini menyembunyikan rasa bangga; mereka telah melalui banyak hal. Perbedaan pendapat, begadang, hingga tawa di bawah hujan sewaktu survei lapangan.
Rizal, berdiri di samping kanan Christin, mengenakan kemeja motif etnik. Ia si jenius data, yang bisa mengubah angka-angka menjadi narasi menarik. Dulu ia tertutup, lebih nyaman dengan laptopnya dibanding orang lain. Tapi kerja sama ini membuatnya berubah. Ia mulai berani bicara, bahkan semalam ia jadi yang paling banyak berlatih presentasi. Hari ini, Rizal punya peran penting, penutup presentasi, yang akan menentukan kesan akhir di mata dosen.
Anto berdiri paling kanan dengan kemeja biru bercorak merah. Ia bukan bagian awal dari tim, melainkan tambahan di semester akhir karena keahliannya dalam visualisasi data. Meski paling baru, Anto cepat menyatu, membawa semangat santai dan candaan yang membuat atmosfer kerja menjadi lebih ringan. Ia pula yang merancang seluruh tampilan infografis dalam laporan mereka, yang sekarang sudah terpajang di papan pameran perpustakaan.
Saat waktu presentasi tiba, kelima mahasiswa itu melangkah bersama ke depan ruangan. Purnono membuka dengan tenang, memperkenalkan proyek mereka: "Digitalisasi Naskah Kuno di Era Cloud Computing." Vira melanjutkan dengan latar belakang, suara lantangnya kini terdengar penuh percaya diri. Christin menyampaikan metode dan tantangan lapangan yang mereka hadapi. Lalu Rizal dengan lancar menjabarkan hasil analisis, membuat para dosen mengangguk penuh minat.
Saat Anto tampil terakhir, ia membuat semua mata terbuka lebar dengan visualisasi interaktif yang ditampilkannya. Ia tidak hanya menyampaikan angka, tapi mengajak audiens berkeliling secara digital ke dalam dunia naskah kuno, melalui VR yang mereka rancang sederhana. Presentasi berakhir dengan tepuk tangan panjang. Bahkan, Kepala Perpustakaan turun tangan memberikan apresiasi secara langsung.
Di luar ruangan, mereka berdiri kembali di depan dinding hitam dengan lambang kampus tercinta. Tempat yang sama mereka jadikan latar foto pagi tadi. Kini ekspresi mereka berbeda. Lega, bangga, dan sedikit tak percaya bahwa perjuangan mereka telah selesai. Foto itu menjadi penanda babak baru dalam hidup masing-masing.
Purnono mendapat tawaran untuk melanjutkan riset sebagai asisten dosen. Vira diminta membuat pelatihan digitalisasi untuk pustakawan di daerah. Christin diterima di lembaga konservasi budaya nasional. Rizal direkrut oleh startup teknologi edukasi. Sementara Anto dilirik oleh biro desain infografis. Lima jalan berbeda, tapi semua bermula dari satu titik: langkah mereka di bawah bayang-bayang perpustakaan.
Dan meski masing-masing akan melangkah ke arah yang berbeda, mereka tahu, kenangan tentang kerja keras, persahabatan, dan secercah cahaya pagi di Perpustakaan dan Arsip UGM itu akan terus mereka bawa, di manapun kaki mereka berpijak.


