Bagi mahasiswa perantauan, menjalani kehidupan jauh dari keluarga bukan hanya soal kemandirian dan menata masa depan, tetapi juga menghadapi berbagai tantangan emosional yang tidak terduga. Salah satu pengalaman yang seringkali menimbulkan rasa cemas adalah menerima telepon dari orang rumah di tengah malam. Situasi ini begitu menegangkan karena pikiran langsung dipenuhi kekhawatiran akan kabar buruk.
Dering telepon yang biasanya terdengar biasa di siang hari, bisa berubah menjadi sesuatu yang menakutkan ketika datang pada malam hari. Mahasiswa perantauan sering kali merasa waswas, jantung berdegup kencang, dan pikiran langsung membayangkan skenario terburuk. Rasa khawatir ini muncul karena perbedaan waktu komunikasi yang biasanya dilakukan pada jam-jam normal. Maka, ketika telepon berdering di jam yang tidak wajar, logika pun kalah oleh rasa takut.
Kondisi ini diperparah dengan keterbatasan mahasiswa perantauan yang jauh dari rumah. Ketika ada masalah mendesak di keluarga, mereka tidak bisa serta-merta hadir untuk membantu atau mendampingi. Hal ini memunculkan perasaan bersalah, cemas, dan ketidakberdayaan. Dalam banyak kasus, mahasiswa hanya bisa berdoa dan berharap kabar yang datang bukanlah sesuatu yang buruk.
Namun, pengalaman ini juga memberikan pelajaran berharga tentang arti kedewasaan dan tanggung jawab. Mahasiswa perantauan belajar untuk tetap tenang, berpikir rasional, serta menguatkan diri dalam situasi darurat. Mereka mulai menyadari bahwa hidup jauh dari keluarga bukan hanya soal mengejar mimpi, tetapi juga melatih mental menghadapi ketidakpastian.
Pada akhirnya, dering telepon di tengah malam memang menjadi momok yang menakutkan bagi mahasiswa perantauan. Akan tetapi, di balik rasa cemas itu, ada nilai tentang kepedulian dan ikatan emosional dengan keluarga yang begitu dalam. Justru dari pengalaman inilah mahasiswa belajar arti pentingnya menjaga komunikasi, menghargai waktu bersama keluarga, dan menumbuhkan rasa syukur setiap kali kabar baik datang dari seberang.

