Namanya manusia, tentu tidak lepas dari benar dan salah. Setiap orang memiliki potensi untuk berbuat baik, namun juga bisa terjerumus pada keburukan. Inilah fitrah manusia yang penuh keterbatasan. Kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT, sementara manusia senantiasa belajar dan berusaha memperbaiki diri dari kesalahan yang diperbuat.
Seseorang yang merasa dirinya baik bisa terjebak pada kesombongan. Kebaikan yang sejati justru melahirkan kerendahan hati dan tidak merasa lebih baik dari orang lain. Karena bisa jadi, di hadapan Allah, kebaikan seseorang yang tampak di mata manusia tidak lebih tinggi nilainya dibanding amal sederhana orang lain yang ikhlas. Oleh karena itu, merasa paling benar dan paling suci adalah sikap yang harus dihindari.
Di sisi lain, orang yang merasa dirinya buruk pun jangan sampai berputus asa. Setiap manusia memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri, bertaubat, dan mendekat kepada Allah. Kesalahan bukan akhir dari segalanya, justru menjadi pintu untuk bangkit menuju jalan yang lebih baik. Allah SWT Maha Pengampun dan Maha Penyayang, sehingga tidak ada alasan bagi manusia untuk terjebak dalam keputusasaan.
Yang benar-benar bersih hanyalah para Rasul. Mereka adalah utusan Allah yang dijaga dari kesalahan dalam menyampaikan risalah-Nya. Sementara manusia biasa, betapapun alim atau shalih, tetap memiliki sisi lemah yang bisa salah. Dengan menyadari hal ini, manusia diajak untuk tidak mudah menghakimi sesama, melainkan saling mendoakan dan mendukung dalam kebaikan.
Kesadaran bahwa manusia adalah makhluk yang penuh keterbatasan akan melahirkan sikap rendah hati, toleransi, dan kasih sayang. Kita tidak merasa lebih tinggi dari orang lain, juga tidak merendahkan diri hingga putus harapan. Hidup adalah perjalanan untuk terus belajar, memperbaiki diri, dan mendekatkan hati kepada Allah SWT. Dengan demikian, manusia bisa menjalani hidup dengan bijak, penuh cinta, dan selalu dalam bimbingan-Nya.

