Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur dikenal sebagai tokoh bangsa sekaligus ulama yang pemikirannya menembus batas sekat agama, suku, maupun golongan. Banyak ucapannya yang hingga kini masih menjadi bahan renungan bagi masyarakat. Salah satunya adalah ketika beliau ditanya mengenai tanda-tanda seseorang memiliki hati yang keras. Jawaban Gus Dur sederhana, namun sangat dalam maknanya.
Beliau berkata, “Saat melihat gereja kau takut imanmu runtuh, tapi saat membaca Qur’an tak sedikitpun hatimu tersentuh.” Ungkapan ini menyentil kesadaran bahwa ukuran iman seseorang bukan terletak pada rasa takut terhadap keberadaan rumah ibadah lain, melainkan pada seberapa besar hati kita tersentuh oleh firman Tuhan sendiri. Pernyataan itu mengajarkan bahwa iman tidak boleh rapuh hanya karena perbedaan, melainkan harus kokoh dengan rasa spiritual yang hidup dari dalam hati.
Pesan Gus Dur tersebut juga menyingkap fenomena keagamaan di tengah masyarakat. Masih banyak orang yang merasa resah dengan keberadaan agama lain, seolah-olah itu ancaman terhadap keyakinannya. Padahal, jika hati tidak lagi bergetar saat membaca kitab suci sendiri, di situlah tanda sebenarnya bahwa iman mulai mengeras. Hati yang keras tidak lagi mampu menyerap nilai kebaikan, kasih sayang, dan kedamaian yang diajarkan oleh agama.
Lebih jauh, petuah ini menuntun kita untuk melakukan introspeksi. Apakah kita lebih sibuk mengkhawatirkan “luar” daripada memperkuat “dalam”? Apakah kita mudah tersulut oleh perbedaan, namun lupa menumbuhkan kedalaman iman? Gus Dur mengingatkan agar umat beragama lebih mengutamakan kelembutan hati dan kedekatan dengan Tuhan, bukan sekadar simbol atau perbandingan dengan keyakinan orang lain.
Pada akhirnya, nasihat Gus Dur adalah ajakan untuk melembutkan hati dan memelihara iman melalui kedalaman spiritual, bukan dengan rasa curiga atau kebencian terhadap sesama. Jika hati kita mampu tersentuh oleh bacaan suci dan mendorong kita berbuat kebaikan, maka iman kita sesungguhnya sedang tumbuh. Inilah warisan pemikiran Gus Dur yang patut terus dijaga: menjadikan agama sebagai sumber cinta kasih, bukan sumber ketakutan.

